Alexandrio Pareda. Cowo bermarga pareda dan merupakan murid pindahan dari Manado. Tak banyak yang ku tau awalnya.
Awalnya yang ku ketahui dia merupakan penghuni kelas IPA disebelah kelas sedangkan aku penghuni kelas IPS disebelahnya. Kelas kami bersebelahan. Tidak sampai 5menit untuk sekedar bertemu dengannya. Bahkan hanya butuh beberapa langkah.
Tepatnya malam Minggu tiba-tiba ada nomor yang tidak ku ketahui yang ternyata adalah nomornya. Dari mana dia mendapatkan nomorku. Akupun tidak tahu. Dia sepertinya berusaha untuk mengenalku lebih jauh. Namun harapanya ku tangkis dengan alasan perbedaan agama diantara kami. Dia beragama Protestan sedangkan aku Islam. Ya walaupun sebenarnya aku masih jarang solat tapi aku tetap mengakui agamaku. Aku memberikannya ultimatum bahwa aku akan senang jika dia mau berteman denganku dan tidak lebih dari teman. Tapi ntah kenapa dan ntah apa yang dia pikirkan dia terus saja menyatakan cintanya padaku. Beberapakali sempat ku tolak dan dia tanpa menyerahpun selalu berusaha.
Akhirnya atas hasil musyawarah antara aku dan sahabat-sahabatku maka aku pun menerimanya. Ya itu merupakan usulan dari sahabatku karena tidak tega melihatnya dan tidak ingin menyakitinya maka akupun memberikan dia kesempatan.
Terkadang saat aku sedang bosan dengan penjelasan guru dia sengaja melambaikan tangan lewat jendela hanya untuk memberikan ku semangat. Setiap istirahat Ia selalu datang ke kelas untuk mengajakku ke kantin bareng. Ia selalu membawa gitar dan bernyanyi untukku dikelas. Tanpa menghiraukan tatapan mata seisi kelasku dia selalu saja memberi perhatiannya padaku. Aku menjaga perhatiannya agar masih dalam batas wajar karena ini merupakan sekolah. Setiap pulang sekolah aku ataupun dia saling menunggu untuk pulang bersama. Aku naik diatas motornya yang besar. Sedangkan Ia mengendarai di depan. Aku selalu marah dan menepuk pundaknya setiap kali Dia membawa dengan kecepatan tinggi. Aku memiliki trauma. Aku tidak bisa dan aku sangat takut ketika dibonceng dengan kecepatan yang tinggi akupun berteriak tidak peduli orang berkata apa. Dan dia selalu ngomel-ngomel ketika aku menepuk pundaknya dan menyuruhnya untuk menurunkan sedikit laju kendaraannya. Aku tidak pernah sekalipun memeluknya saat dia memboncengku walaupun dia beberapa kali meminta dengan alasan agar aku tidak jatuh. Tapi aku menolaknya. Bukan berarti aku tidak menyayanginya. Hanya saja aku belum terbiasa akan itu dan aku juga segan terhadap orang-orang yang nanti melihat sedangkan kami masih memakai baju sekolah.
Dia mengantarkan aku ke rumah. Ya tak banyak yang tau akan alamat rumahku. Rumahku begitu sederhana. Tapi aku beruntung dia tidak pernah mempermasalahkan keadaanku. Aku bersyukur dia mau menerimaku apa adanya.
Suatu hari dia tidak ada dikelasnya. Kata teman kelasnya Rio sakit. Ya aku memanggilnya Rio. Aku tidak sempat untuk menghubunginya tadi pagi. Sepulang sekolah akupun ke rumahnya menaiki angkot. Ku tatap rumah dihadapanku ragu-ragu. Apa benar ini rumah pacarku ya. Akupun segera menghubunginya karena mustahil dia mendengarkanku jika aku memanggilnya melihat begitu besar rumahnya.
Diapun keluar sambil ngomel-ngomel. Aku tak peduli. Aku balas kembali dengan omelan. Dia mengajak ku untuk naik ke lantai atas. Dia menunjukkan satu ruangan tempat dia bermain musik. Terlihat disana beberapa gitar yang aku tidak tau gitar apa saja itu. Drum, keyboard, dan ntah la aku tidak memperhatikannya lagi ketika perhatianku tertuju saat dia pacarku menekan-nekan piano. Merdu sekali. Aku tak menyangka dia begitu jago bermain piano. Aku menikmani setiap alunan tiap nadanya. Sampai nada itu tak terdengar lagi.
"Mau belajar main musik?" Tanya Rio melirikku
-- aku hanya diam masi ragu-ragu untuk menjawab
"Ayolah" ajaknya menarik tangaku dan menyuruhku duduk di sampingnya.
"Aku tak pandai." Jawabku polos. Ya aku memang tidak pandai segalanya tentang seni yang salah satunya adalah musik.
"Kalo belajar pasti bisa. Yuk aku ajari." Ucapnya antusias
Akupun ikut antusias. Aku senang dia mau menawarkan aku sebagai muridnya dan dialah guru pianoku. Aku benar-benar senang diajari olehnya. Walaupun aku sangat lambat sekali untuk paham, ingat dan lancar akan yang diajari olehnya.
Setiap ada waktu aku ke rumahnya untuk berlatih piano. Mamanya pun sangat ramah padaku.
Ketika dia ada tanding futsal dia selalu mengajakku menemaninya. Akupun selalu memberikannya semangat. Walau tidak bisa membantu banyak aku tau dengan kehadiran dan semangatku dia akan semakin hebat dan mengalahkan lawan-lawanya saat bermain futsall.
Begitupun sebaliknya saat aku ada latihan basket dan renang. Diapun menyemangatiku. Walau tak menemaniku tapi dia selalu mengantarkan dan menjemputku. Itu sudah lebih dari cukup untukku.
Perlahan yang awalnya aku benar-benar tak memiliki perasaan terhadapnya kemudian sadar bahwa akupun perlahan membuka hatiku untuknya. Apakah ini cinta? Ntah la. Senang dan sedih itu satu paket. Benar bukan? Dan ada keganjalan dalam hubunganku dengannya yang selama ini aku tutupi. Aku dan dia berbeda. Ya. Nama Tuhanku dan Tuhannya berbeda. Tempat ibadah ku dan dia berbeda. Dan kitabku serta kitabnyapun berbeda. Aku tidak bisa pungkiri akan hal itu. Aku dan dia merahasiakan hal ini kepada orangtua kami. Kami takut ketika ada yang tau pastilah hanya pertentangan yang akan kami peroleh.
Hari berganti minggu berganti bulan dan berganti tahun. Setahun sudah hubunganku dengannya berjalan dengan lancar-lancar saja. Ya namun jujur masi ada ketakutan dalam relung hatiku tentang kepastian hubungan ini. Ada rasa berkecamuk. Ntah la. Sulit untuk aku jabarkan rasa ini. Aku berpikir seandainya aku tidak menerima usulan sahabatku untuk menerimanya tentu tidak seperti ini jadinya. Pikiranku pun ku tangkis kembali ketika ingat kebersamaan kami. Akupun mulai melupakan keganjalan sebenarnya. Ya begitu seterusnya tanpa aku tau akhirnya.
Jumat, 31 Maret 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar