Jumat, 31 Maret 2017

Diaryku " Pengen jadi Penulis"

Maret 31, 2017 0 Comments
Dear Pemirsah......

Apa ada yang nyasar di blog ini karena pengen jadi penulis juga?

Kalo ada berarti kita sama.

Aku juga pengen sekali jadi seorang penulis. Awalnya ku pikir menjadi penulis itu sangatlah gampang. Hanya tinggal menuangkan coretan-coretan saja jadi deh tulisan. Ha-Ha!! Tapi ternyata tidak semudah itu. Nggak secetek itu. Ada beberapa orang yang aku suruh untuk membaca tulisanku.

Dan apa tanggapannya?

Mereka berkata tidak habis membaca tulisanku karena kepanjangan.

Ya kata mereka sih begitu. Tapi setelah aku telusuri ternyata bukan kepanjangan alasan utamanya. Namun tulisanku masih sangat membosankan sehingga para pembaca enggan untuk terus melanjutkan  hanya cukup sampai disitu dan menghilang.

Lalu apa para pemirsah tau apa yang aku rasakan?

Sedih. Ya aku sungguh sedih. Rasanya pengen stop aja jadi penulis. Tapi kemudian semangatkupun bangkit kembali. Aku mulai bertanya pada mbah google cara agar tulisan menarik, tips-tips untuk penulis pemula, ikut kelas menulis gratisan, sampe buat wattpad untuk memperdalam ilmu menjadi sebagai seorang penulis dan lebih dekat dengan para penulis lainnya dan lebih parahnya lagi aku nyuekin pacarku lo para pemirsah. Hehehe yang terakhir itu jangan ditiru ya.

Dan hasilnya?

 Masih belum ada hasil. Aku masih saja terus belajar dan belajar. Dan aku berdoa semoga saja aku bisa menjadi penulis terkenal. Ha-Ha!! Ketinggian bangetkan impian ku.

 Ternyata dunia penulis amatlah luas. Ibarat langit masih ada langit. Dan ku rasa orang baru sepertiku masih harus banyak belajar.  Dengan belajar menulis dan banyak membaca karya oranglain mulai membuka cakrawalaku yang sempit. Yang awalnya ingin hanya sekedar berbagi jadi niatan cari duit (wah kalo masalah cari duit masih lama ya).

Aku pengen jadi penulis bukan karena aku pintar merangkai kata dan menciptakan puisi. Aku pengen jadi penulis bukan karena aku cerdas dan berpendidikan tinggi. Aku pengen jadi penulis bukan karena hobbi menulis ataupun bakat menulis.

TAPI aku pengen jadi penulis karena aku pengen suatu saat dikenal oleh orang banyak. Dan aku ingin tulisanku bermanfaat bagi orang banyak. Yah begitu lah. Aku tidak perlu munafik. Memang aku ingin menjadi terkenal melalui tulisanku. Tekad ku sudah bulat dan aku akan berusaha untuk menggapai mimpi itu. Tidak peduli umurku yang sudah 21tahun yang kalah sama orang seumuranku yg karyanya sudah diterbitkan sedangkan aku baru ingin memulai.

Untuk kalian para pemirsah...
Menulislah. Karena dengan menulis kita akan terkenang oleh masa.

Yuk mulai menulis dari hal-hal yang kecil. Siapa tau iseng-iseng berhadiah. Yang awalnya cuma coretan-coretan jadilah sebuah buku yang layak dipasarkan.

Yah udah cukup sampe disini dulu ya para pemirsa. Maaf jika tulisanku masih membosankan untuk dibaca. Maklum masih belajar.



Salam,
Miera Latte

Siapa yang Salah?

Maret 31, 2017 0 Comments
Alexandrio Pareda. Cowo bermarga pareda dan merupakan murid pindahan dari Manado. Tak banyak yang ku tau awalnya.

Awalnya yang ku ketahui dia merupakan penghuni kelas IPA disebelah kelas sedangkan aku penghuni kelas IPS disebelahnya. Kelas kami bersebelahan. Tidak sampai 5menit untuk sekedar bertemu dengannya. Bahkan hanya butuh beberapa langkah.

Tepatnya malam Minggu tiba-tiba ada nomor yang tidak ku ketahui yang ternyata adalah nomornya. Dari mana dia mendapatkan nomorku. Akupun tidak tahu. Dia sepertinya berusaha untuk mengenalku lebih jauh. Namun harapanya ku tangkis dengan alasan perbedaan agama diantara kami. Dia beragama Protestan sedangkan aku Islam. Ya walaupun sebenarnya aku masih jarang solat tapi aku tetap mengakui agamaku. Aku memberikannya ultimatum bahwa aku akan senang jika dia mau berteman denganku dan tidak lebih dari teman. Tapi ntah kenapa dan ntah apa yang dia pikirkan dia terus saja menyatakan cintanya padaku. Beberapakali sempat ku tolak dan dia tanpa menyerahpun selalu berusaha.

Akhirnya atas hasil musyawarah antara aku dan sahabat-sahabatku maka aku pun menerimanya. Ya itu merupakan usulan dari sahabatku karena tidak tega melihatnya dan tidak ingin menyakitinya maka akupun memberikan dia kesempatan.

Terkadang saat aku sedang bosan dengan penjelasan guru dia sengaja melambaikan tangan lewat jendela hanya untuk memberikan ku semangat. Setiap istirahat Ia selalu datang ke kelas untuk mengajakku ke kantin bareng. Ia selalu membawa gitar dan bernyanyi untukku dikelas. Tanpa menghiraukan tatapan mata seisi kelasku dia selalu saja memberi perhatiannya padaku. Aku menjaga perhatiannya agar masih dalam batas wajar karena ini merupakan sekolah. Setiap pulang sekolah aku ataupun dia saling menunggu untuk pulang bersama. Aku naik diatas motornya yang besar. Sedangkan Ia mengendarai di depan. Aku selalu marah dan menepuk pundaknya setiap kali Dia membawa dengan kecepatan tinggi. Aku memiliki trauma. Aku tidak bisa dan aku sangat takut ketika dibonceng dengan kecepatan yang tinggi akupun berteriak tidak peduli orang berkata apa. Dan dia selalu ngomel-ngomel ketika aku menepuk pundaknya dan menyuruhnya untuk menurunkan sedikit laju kendaraannya. Aku tidak pernah sekalipun memeluknya saat dia memboncengku walaupun dia beberapa kali meminta dengan alasan agar aku tidak jatuh. Tapi aku menolaknya. Bukan berarti aku tidak menyayanginya. Hanya saja aku belum terbiasa akan itu dan aku juga segan terhadap orang-orang yang nanti melihat sedangkan kami masih memakai baju sekolah.


Dia mengantarkan aku ke rumah. Ya tak banyak yang tau akan alamat rumahku. Rumahku begitu sederhana. Tapi aku beruntung dia tidak pernah mempermasalahkan keadaanku. Aku bersyukur dia mau menerimaku apa adanya.

Suatu hari dia tidak ada dikelasnya. Kata teman kelasnya Rio sakit. Ya aku memanggilnya Rio. Aku tidak sempat untuk menghubunginya tadi pagi. Sepulang sekolah akupun ke rumahnya menaiki angkot. Ku tatap rumah dihadapanku ragu-ragu. Apa benar ini rumah pacarku ya. Akupun segera menghubunginya karena mustahil dia mendengarkanku jika aku memanggilnya melihat begitu besar rumahnya.

Diapun keluar sambil ngomel-ngomel. Aku tak peduli. Aku balas kembali dengan omelan. Dia mengajak ku untuk naik ke lantai atas. Dia menunjukkan satu ruangan tempat dia bermain musik. Terlihat disana beberapa gitar yang aku tidak tau gitar apa saja itu. Drum, keyboard,  dan ntah la aku tidak memperhatikannya lagi ketika perhatianku tertuju saat dia pacarku menekan-nekan piano. Merdu sekali. Aku tak menyangka dia begitu jago bermain piano. Aku menikmani setiap alunan tiap nadanya. Sampai nada itu tak terdengar lagi.

"Mau belajar main musik?" Tanya Rio melirikku

-- aku hanya diam masi ragu-ragu untuk menjawab

"Ayolah" ajaknya menarik tangaku dan menyuruhku duduk di sampingnya.

"Aku tak pandai." Jawabku polos. Ya aku memang tidak pandai segalanya tentang seni yang salah satunya adalah musik.

"Kalo belajar pasti bisa. Yuk aku ajari." Ucapnya antusias

Akupun ikut antusias. Aku senang dia mau menawarkan aku sebagai muridnya dan dialah guru pianoku. Aku benar-benar senang diajari olehnya. Walaupun aku sangat lambat sekali untuk paham, ingat dan lancar akan yang diajari olehnya.


Setiap ada waktu aku ke rumahnya untuk berlatih piano. Mamanya pun sangat ramah padaku.

Ketika dia ada tanding futsal dia selalu mengajakku menemaninya. Akupun selalu memberikannya semangat. Walau tidak bisa membantu banyak aku tau dengan kehadiran dan semangatku dia akan semakin hebat dan mengalahkan lawan-lawanya saat bermain futsall.

Begitupun sebaliknya saat aku ada latihan basket dan renang. Diapun menyemangatiku. Walau tak menemaniku tapi dia selalu mengantarkan dan menjemputku. Itu sudah lebih dari cukup untukku.

Perlahan yang awalnya aku benar-benar tak memiliki perasaan terhadapnya kemudian sadar bahwa akupun perlahan membuka hatiku untuknya. Apakah ini cinta? Ntah la. Senang dan sedih itu satu paket. Benar bukan? Dan ada keganjalan dalam hubunganku dengannya yang selama ini aku tutupi. Aku dan dia berbeda. Ya. Nama Tuhanku dan Tuhannya berbeda. Tempat ibadah ku dan dia berbeda. Dan kitabku serta kitabnyapun berbeda. Aku tidak bisa pungkiri akan hal itu. Aku dan dia merahasiakan hal ini kepada orangtua kami. Kami takut ketika ada yang tau pastilah hanya pertentangan yang akan kami peroleh.

Hari berganti minggu berganti bulan dan berganti tahun. Setahun sudah hubunganku dengannya berjalan dengan lancar-lancar saja. Ya namun jujur masi ada ketakutan dalam relung hatiku tentang kepastian hubungan ini. Ada rasa berkecamuk. Ntah la. Sulit untuk aku jabarkan rasa ini. Aku berpikir seandainya aku tidak menerima usulan sahabatku untuk menerimanya tentu tidak seperti ini jadinya. Pikiranku pun ku tangkis kembali ketika ingat kebersamaan kami. Akupun mulai melupakan keganjalan sebenarnya. Ya begitu seterusnya tanpa aku tau akhirnya.

Kian Hambar

Maret 31, 2017 0 Comments
Aku mangut-mangut menatap ponselku. Tidak ada sesuatu yang berubah. Jangankan telpon bahkan pesan singkat saya tidak hadir.

Aku hempaskan tubuhku diatas kasur setelah pulang bekerja. Rasanya sangat lelah tidak seperti biasanya. Ya rasa lelah hatiku menjalar dan menjangkiti tubuhku. Aku memejamkan mata. Membayangkan seseorang.

"Sedang apa dia?" Pikirku

Seketika hadir bayang seseorang yang ku rindui. Seorang pria tersenyum tipis padaku. Ia tampak membenarkan kacamatanya yg silau-silau kehijauan itu. Mengerutkan dahinya. Ia mematung membisu. Ingin sekali aku merangkulnya namun ku urungkan niat tersebut. Aku hanya bukam menatapnya. Iapun balas menatapku tajam. Seketika menghilang.

"Yah.... cuma khayalan" seketika juga aku membuka mata. Dan kembali ke alam sadarku.

Aku kembali meraih ponselku. Ku tatap layarnya lekat-lekat. Terasa ada yang bergaung-gaung dalam telingaku mengatakan agar aku segera menghubunginya. Tapi ada yang bergejolak dari arah yang lain menahanku untuk menekan tombol hijau. Yah... aku terlalu gengsi untuk menghubunginya. Tapi jika aku terus bertahan atas gengsiku tentu aku akan semakin khawatir dan rindu. Ada rasa berkecamuk dalam dadaku. Sesak. Kutangkis segala rasa dan mulai memencet-mencet tombol ponselku.

Lagi apa? -Send

Kemudian sejam kemudiam datang balasan dari nomor tadi.

-Lagi di Cafe-

Kemudian tampak nomor tersebutpun menghubungiku. Aku sontak kaget apakah harus mengangkatnya ataupun tidak. Jika ku angkat harus berkata apa aku? Dan jika tidak ku angkat apa yang nanti dipikirkan cowo itu. Eittss... tunggu! Dia lagi dinner? Dengan siapa? Ntah la bahkan rasanya kepalaku mau pecah membayang hal yang benar-benar tidak ku ketaui. Mungkin saja dia telah bersama yang lain. Tak ku pedulikan lagi si dia yang sedang menghubungiku sampai panggilanpun terhenti.

Apa arti sebuah hubungan ini menurutnya aku pun tidak tahu. Jelas sekali Ia yang memulai untuk hubungan ini. Hubungan yang katanya pacaran namun tidak ada tanda-tanda pacaran yang ku perhatikan. Hanya awal-awalnya saja selalu mengirim kabar dan bertemu, mengobrol dan menghabiskan waktu bersama. Ya hanya awalnya saja. Bahkan setelah itu sekedar memberi kabar saja jarang. Akupun begitu sama sepertinya. Aku tak berusaha memperbaiki hubungan ini. Hingga hubungan ini kian hari kian hambar dan membosankan. Akupun enggan bertanya serta menutut lebih. Aku hanya mengikuti alurnya saja. Aku percaya jika memang dia mencintaiku tentulah Ia akan berjuang keras untuk itu. Tapi dia tetap bersikap hambar, aku tidak akan mencegahkannya karena ku yakin mungkin benar dia tidak serius mencintaiku. Aku juga tidak akan mau menjadi pengemis cinta hanya untuk mengutip keping-keping perhatiannya. Aku lebih memilih menyibukkan diriku dengan berbagai hal hanya sekedar mengusir sepi. Yah sepi. Disini aku setia menunggunya ya sekedar menunggu. Namun yang ditunggu terkadang tidak sadar akan hal itu. Aku hanyalah manusia biasa. Menunggu ku bisa saja memahat sedikit demi sedikit rasa sayangku. Hingga pahatan itupun semakin tak karuan dan bisa saja digantikan oleh yang lain.